Kompleksitas Konflik Lampung
Pengungsi
kerusuhan di Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan memenuhi sebuah
ruangan di Sekolah Polisi Negara Polda Lampung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar
Lampung. Sekitar 2.000 orang menggunakan sejumlah ruangan di sekolah tersebut
sebagai tempat tinggal sementara. Pengungsi masih membutuhkan bantuan berupa
selimut dan pakaian layak pakai. Ratusan rumah hangus terbakar dari pertikaian antardesa
tersebut.
Munculnya
berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa
potensi konflik tak segera selesai dengan terbukanya keran demokratisasi. Dalam
konteks Indonesia, Baladas Goshal (2004) telah memperingatkan, terlepas sisi
positif yang dibawanya, demokratisasi juga memberikan peluang bagi meluasnya
potensi konflik.
Belum
lama ini konflik besar kembali terjadi. Kali ini menimpa Lampung Selatan,
tepatnya di wilayah Kalianda. Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual yang diduga
sebagai pemicu konflik, yang telah menelan belasan korban jiwa ini, sebenarnya
hanyalah puncak dari gunung es.
Dilihat
dari akar penyebabnya, kasus Lampung—dalam batas-batas tertentu— dapat
dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa
primordial, yang mengingatkan kita pada konflik yang terjadi di Sampit, Sambas,
Kalbar, dan sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian kalangan melihat
konflik antarkampung di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan
faktor ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak
yang berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat,
yakni etnis Lampung dan Bali.
Sejak
kehadirannya, etnis Bali—berbeda dengan orang Jawa—dipandang membawa persoalan
tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup
”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena
menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat
kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah
dalam nuansa yang eksklusif (enclave). Tidak mengherankan jika kedua
etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama
di Lampung Selatan dan Lampung Utara.
Meski secara
kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki kearifan lokal yang dapat
diandalkan untuk menciptakan kerukunan dan mencegah konflik, tetapi dalam
berbagai kasus konflik terlihat bahwa kearifan lokal itu seolah sirna.
Masyarakat
Lampung punya kearifan lokal berupa Piil Pesenggiri (Piil), yang di
dalamnya terkait soal kehormatan diri yang muncul karena kemampuan mengolah
kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di sini kemampuan hidup berdampingan
dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang, merupakan salah satu inti ajaran
Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan ajaran Bhinneka Tunggal
Ika, Tatwam Asi (kamu adalah aku dan aku adalah kamu)
dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan demikian dalam
arti penting hidup berdampingan secara damai.
Situasi di
Lampung ini cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal makin terpinggirkan.
Setidaknya mengalami pergeseran makna. Konsep Piil, misalnya,
mengalami penyempitan makna sekadar membela harga diri. Alih-alih dikaitkan
keharusan kedewasaan berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru jadi alasan
pembenaran untuk menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat menjaga harga
diri. Sementara respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai
kedamaian dan toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan sempurna.
Tentu
saja, persoalan primordial ini tidak berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung,
persoalan ini berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi
sementara kalangan sudah makin terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali,
merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup
baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan
sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah cukup membutakan akal sehat
dan menjadi rumput kering yang berpotensi membara manakala menemukan
pemantiknya.
Di mana negara?
Lepas
dari itu, kasus kerusuhan Lampung ini sebenarnya dapat segera tertanggulangi
dengan baik jika aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, dapat memainkan
peran yang lebih signifikan. Sebagai institusi yang menetapkan peran preventif
(pencegahan) sebagai bagian tugas pokoknya, kepolisian seharusnya sejak dini
dapat mendeteksi dan mengantisipasi potensi apa yang akan terjadi ke depan.
Dengan
sederet institusi pelengkap untuk mendeteksi segenap potensi negatif yang ada
di masyarakat, kepolisian jelas salah satu institusi yang seharusnya dapat
memimpin dalam soal-soal yang terkait dengan keresahan masyarakat. Apalagi
kenyataan bahwa kasus Lampung terakhir ini bukanlah kasus yang benar-benar baru
sebab memiliki preseden di awal tahun ini yang cukup terang benderang.
Namun,
justru di sinilah letak persoalan lain dari kasus Lampung—juga berbagai kasus
konflik horizontal akar rumput lainnya—di mana peran aparat keamanan terlihat
demikian kedodoran. Dengan demikian, tidak aneh jika kemudian masyarakat
mempertanyakan kualitas SDM, efektivitas strategi atau bahkan komitmen dari
aparat keamanan kita.
Persoalan
lain adalah sikap pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang masih
memercayakan kemampuan masyarakat dan tokoh-tokohnya dalam menyelesaikan
persoalan konflik secara mandiri. Dalam hal ini resolusi konflik sebenarnya
belum terlembaga secara memadai. Untuk itu, diperlukan upaya membentuk dan
merevitalisasi lembaga-lembaga, baik adat maupun pemerintahan, yang terkait
dengan persoalan primordial itu secara lebih serius. Tujuan utamanya jelas agar
potensi konflik yang melibatkan unsur etnis dapat menemukan jalur penyelesaian
secara lebih cepat, berkeadilan, dan komprehensif.
Solusi
jangka pendek adalah segera menyelesaikan persoalan itu secara tepat, dengan
sesedikit mungkin menimbulkan resistensi dari kalangan yang terlibat. Di sini
diperlukan kerja sama banyak pihak. Tidak saja dari kalangan masyarakat,
tokoh-tokoh, ataupun ormas, tetapi juga aparat dan pemerintah, termasuk
pengadilan. Dalam perspektif manajemen resolusi konflik pihak ketiga, dalam hal
ini pengadilan atau institusi yang dipercaya dapat memainkan peran itu,
memainkan peran yang amat krusial. Kegagalan pada level ini kerap akan cenderung
memberikan preseden negatif dan memperburuk situasi.
Dalam
konteks jangka menengah, solusi yang mungkin adalah memperbaiki kinerja dan
profesionalisme aparat keamanan agar dapat lebih sensitif dan efektif mencegah
serta menyelesaikan rangkaian konflik sejak dini. Dibutuhkan pula sebuah desain
besar dan pelembagaan pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih
kontekstual dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan masyarakat
di dalamnya.
Dalam
konteks jangka panjang, jelaslah bahwa persoalan segregasi primordial dan
disparitas ekonomi yang selalu jadi biang keladi kemunculan konflik harus dapat
direduksi semaksimal mungkin.
Sumber Refrensi:
0 komentar:
Posting Komentar